Di Balik Isu Soekarno “Quisling” Asia


Apa itu quisling? Istilah ini diambil dari nama tokoh berkebangsaan Norwegia, Vidkun Quisling. Ia pemimpin fasis yang membantu Jerman menjajah Norwegia. Pada 9 April 1940, Norwegia diinvasi Hitler. Perdana Menteri Nygaardsvold, yang menentang Hitler, melarikan diri ke London dan membentuk “pemerintahan dalam buangan”.


Isu Soekarno “Quisling” Asia
Di Balik Isu Soekarno
Sementara itu, Quisling justru berpihak kepada Jerman. Usai Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Quisling diadili dengan tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi. Di Benteng Akershus ia dieksekusi oleh regu tembak.

Quisling meninggal, tetapi namanya tetap hidup sebagai simbol pengkhianatan. Namanya lantas menjadi label untuk mencemooh para pengkhianat atau kolaborator.

Secara Terminologi, Quisling diartikan begini: seseorang yang berkhianat dan berkomplot untuk bekerja sama dengan musuh.

Quisling kemudian disematkan sebagai lambang pengkhianatan seseorang terhadap tanah airnya sendiri. Sudah mahsyur, siapa yang “menusuk bangsanya dari belakang” atau menjual tanah airnya kepada musuh disebut Quisling. Jelas, si pengkhianat punya kepentingan tertentu.

Apa kaitang Quisling dengan Soekarno, sang pembela teguh Tanah Air Indonesia? Ini titik masalahnya. Adalah kolonialis Belanda yang tak henti-henti berusaha melekatkan julukan Quisling kepada sosok Soekarno.

Mereka ingin Soekarno dianggap telah mengkhianati bangsa Indonesia, tanah tumpah darahnya sendiri. Kelompok reaksioner Belanda melancarkan propaganda besar-besaran demi pembunuhan karakter sosok Putra Sang Fajar ini.

Quisling model apa yang difitnahkan kepada Soekarno oleh agitator Belanda? Mereka selalu menebarkan kabar hitam bahwa Soekarno adalah seorang Quisling yang menjual bangsanya kepada Jepang. Bahwa Soekarno berkomplot dengan Jepang dan mengorbankan Indonesia.

Sejak awal Kemerdekaan Republik Indonesia, Belanda selalu gembar-gembor ihwal Soekarno sebagai Quisling Asia. Tujuannya, agar rakyat Indonesia dan negara-negara Asia hilang simpati kepada sang Proklamator.

Istilah Quisling yang melekat kepada Soekarno ini terus dipopulerkan Belanda.

Kita bangsa Indonesia tentu paham fitnah pihak Belanda ini mengandung “udang di balik batu”. Alasan yang paling kasatmata adalah kecemburuan Belanda terhadap Jepang. Negeri Ratu Wilhelmina itu tak rela Indonesia jatuh ke tangan Jepang.
Maka, dilancarkan strategi Devide Et Impera Jepang mendapatkan Indonesia melalui tangan Soekarno sang sahabat bung Hatta.

Belanda hendak mengacaukan opini publik Indonesia tentang figur Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia dari Penjajah Jepang.

Belanda sadar, Soekarno adalah seorang figur penting dalam perjuangan diplomasi dengan Jepang untuk kemerdekaan Indonesia. Karena itu, Belanda menyusun strategi mengacaukan perjuangan diplomasi para tokoh bangsa di meja perundingan. Jangan sampai diplomasi Indonesia untuk merdeka berhasil. Tujuan Belanda satu: Indonesia gagal merdeka. Intinya, Belanda berhasrat melanjutkan penjajahan di Indonesia.

Selain itu, fitnah “Soekarno Quisling Asia” bagian dari strategi penjajahan Belanda melalui bahasa. Kolonialisasi bahasa yang memang kerap diterapkan Belanda sebagai taktik penjajahan.

Nasib yang sama dialami oleh bangsa lain. Di Uni Soviet, pembunuhan bahasa dilakukan secara sistematis selama tujuh dasaawarsa di bawah penguasa komunis dengan politik monolitiknya.

Contoh lain, pada masa Apartheid, keragaman bahasa lokal atau bahasa suku juga dipelihara justru dijadikan instrumen eksploitasi dan pemecah belah masyarakat Afrika Selatan. Ini taktik pemecah persatuan dengan menjadikan bahasa sebagai instrumen kolonial. Dengan menjajah bahasa sebuah bangsa, otomatis juga telah menjajah mental para warga negaranya.

Karena itu, bahasa kemudia menjadi bagian penting sebuah bangsa jika ingin melepaskan diri dari penjajahan. Merdeka dari penjajahan bahasa merupakan salah satu bagian penting dari perjuangan kemerdekaan. Di sinilah kita merasakan pentingnya ”Soempah Pemoeda”. yang lahir pada 1928, sebagai upaya perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan bahasa.

Kembali ke soal Soekarno. Dengan mempopulerkan istilah “Soekarno Quisling Asia”, Belanda ingin kembali menjajah mental bangsa Indonesia. Bahasa menjadi alat yang efektif untuk merusak martabat Soekarno di mata rakyatnya sendiri. Istilah Quisling kemudian disematkan secara provokatif oleh pihak Belanda yang geram pada perjuangan tokoh kemerdekaan RI ini.

Bahkan, tak kurang politikus moderat seperti Perdana Menteri Belanda saat itu, Willem Drees, meragukan integritas Soekarno selama perang dunia kedua, ketika nusantara diduduki Jepang. Drees hanya salah seorang yang termakan Agitasi “Soekarno Quisling Asia”.

Akan tetapi secara umum, strategi fitnah ini relatif gagal. Figus Soekarno justru semakin meroket. Sosoknya sebagai pahlawan kemerdekaan tak terbendung benteng Quisling.

Bagaimana reaksi Soekarno terhadap fitnah pihak Belanda ini? Media Belanda sering mengangkat isu soal keinginan Soekarno berkunjung ke negeri kincir angin. Dari seluruh generasi nasionalis pertama, Soekarno termasuk yang belum pernah bertandang ke Belanda.

Hal ini ditulis diplomat Belanda bernama C.D. Barkman dalam memoarnya. Barkman adalah kuasa usaha Belanda pertama setelah hubungan Indonesia Belanda kembali pulih pada awal 1960-an. Salah satu tugasnya mempersiapkan kunjungan Soekarno ke Belanda.

Ada dua syarat yang diminta pihak Belanda jika Soekarno ingin melakukan kunjungan ini. Pertama, Indonesia harus mengganti rugi aset Belanda yang dinasionalisasi selama konflik Irian. Kedua, hukuman mati untuk Presiden Republik Maluku Selatan, Chris Soumokil, ditiadakan (dibatalkan) karena ditolak parlemen Belanda dan masyarakat Maluku di Belanda.

Syarat pertama ihwal ganti rugi disepakati dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns, meski banyak yang mengajukan protes keras. Apa kewajiban kita mengganti rugi terhadap mantan penjajah kita! Persyaratan kedua juga dipenuhi, hukuman mati Chris Soumokil ditunda.

Akhirnya, disetujuilah kesepakatan bahwa Soekarno akan mengunjungi Belanda sekitar akhir 1965, demikian kenang Barkman. Namun, rencana tinggal rencana saja. Soekarno gagal ke Belanda karena peristiwa G-30-S/PKI.

Fitnah lebih keras kembali menerpa Soekarno. Ia dituduh mendalangi peristiwa tersebut. Di Belanda, tuduhan ini cukup populer. Alhasil, belum selesai Soekarno mengatasi fitnah dirinya sebagai “Quisling Asia”. eh, muncul fitnah yang lebih keji.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Di Balik Isu Soekarno “Quisling” Asia"

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung.
Silahkan memberi Komentar, Kritik, dan Saran terkait postingan.
Jangan lupa dibagikan jika postingan ini bermanfaat.

Catatan:
1. Komentar dimoderasi dan tidak semuanya dipublikasi.
2. Komentar yang tidak relevan dan/atau terdapat link tidak akan dipublikasikan.
3. Centang kotak Notify me untuk mendapatkan notifikasi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel